1.
KABINET NATSIR (6 September 1950 - 21
Maret 1951)
Kondisi sosial budaya pada masa Kabinet Natsir
:
1. Timbul
masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh
wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA,
Gerakan RMS.
2. Hasil
atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Natsir yaitu berhasil
melangsungkan perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai
masalah Irian Barat.
3. Yang
menjadi beban pemerintah semasa Kabinet Natsir adalah perjuangan Irian Barat ke
tangan Indonesia. Belanda rupa-rupanya tidak bermaksud untuk mengembalikan
wilayah ini kepada Indonesia. Perundingan antara Indonesia dengan Belanda
dimulai pada tanggal 4 Desember 1950, tetapi menemui jalan buntu. Baik
Indonesia ataupun Belanda tidak beranjak dari pendirian masing-masing. Hal ini
menimbulkan mosi tidak percaya dari parlemen terhadap kabinet.
Krisis menjadi lebih mendalam dengan
adanya mosi Hadikusumo (PNI) menyangkut pencabutan
Peraturan Pemerintah No. 39 th 1950 tentang pemilihan anggota perwakilan daerah.
Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan
memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus
mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
2. KABINET
SUKIMAN (26 April 1951 – 23 Februari 1952)
Dampak positif dan negatif dalam mengadakan MSA (Mutual Security Act) :
Dampak positif dan negatif dalam mengadakan MSA (Mutual Security Act) :
1. Amerika
Serikat akan memberikan bantuan keamanan (perlengkapan senjata) kepada
Indonesia.
2. Munculnya
pernyataan PNI agar kabinet mengembalikan mandatnya kepada presiden yang akhirnya
menyebabkan Sukiman meyerahkan mandatnya pada 23 Februari 1952.
3. Munculnya
mosi dari Sunario (PNI) yang menganggap Ahmad Soebardjo melanggar politik luar
negeri bebas aktif. Akhirnya Ahmad Soebardjo pun mengundurkan diri selaku
Menteri Luar Negeri Indonesia pada saat itu.
3. KABINET
WILOPO (30 Maret 1952 – 2 Juni 1953)
Peristiwa Tanjung Morawa
Peristiwa Tanjung Morawa
Peristiwa ini terjadi
pada 16 Maret 1953 di Desa Perdamaian, Tanjung Morawa, Sumatera Timur (sekarang
Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara). Peristiwa ini turut menyeret jatuhya
Kabinet Perdana Menteri (PM) Wilopo di era demokrasi liberal.
Yang diperebutkan
adalah lahan seluas 255 ribu hektare lahan perkebunan kelapa sawit, teh, dan
tembakau yang jadi konsesi milik sebuah perusahaan Belanda, Deli Planters Vereeniging (DPV) sebelum
Perang Dunia II. Tanah itu diambil dan digarap rakyat pribumi dan keturunan
Tionghoa setempat saat Jepang masuk ke Indonesia.
Tapi tanah itu kembali dipermasalahkan
usai Indonesia diharuskan mengembalikan tanah itu, sebagai imbas kesepakatan
Konferensi Meja Bundar (KMB). Kesepakatan itu membuat Indonesia mendapat
pengakuan kemerdekaan, tapi salah satu syaratnya mengembalikan lahan itu kepada
para investor asing.
Pemerintah Kabinet
Wilopo, diwakili Menteri Dalam Negeri Mohamad Roem, memerintahkan Gubernur
Sumatera Timur, A. Hakim, untuk melakukan pengosongan lahan.Sedianya para
petani dan keturunan Tionghoa setempat bersedia untuk meninggalkan lahan. Akan
tetapi, para provokator Barisan Tani Indonesia (BTI–Organisasi Massa Tani dari
PKI) melayangkan hasutan, sehingga para buruh tani itu urung menuruti imbauan
pemerintah.
Pada 16 Maret 1953,
eksekusi pengosongan paksa pun dilakukan dengan beberapa unit traktor serta
perlindungan dari Brigade Mobil (Brimob) polisi. Para buruh tani melakukan
perlawanan hingga terjadi bentrok. Dalam insiden itulah timbul tragedi
penembakan yang memakan 21 korban, di mana enam di antaranya tewas.
Singkat kata, insiden itu dijadikan
bahan bakar oleh sejumlah kubu antikabinet, termasuk Sidik Kertapati, tokoh
Sarekat Tani Indonesia (SAKTI), melancarkan mosi tidak percaya pada
pemerintahan PM Wilopo. Peristiwa Tanjung Morawa ini akhirnya memaksa PM Wilopo
mengembalikan mandat kabinetnya kepada Presiden Soekarno, pada 2 Juni 1953.
4.
KABINET ALI SASTROAMIDJOJO I
(30 Juli 1953 – 24 Juli 1955)
Alasan terdapat koalisi PNI dan
NU serta oposisi Masyumi
Pada masa itu, banyak sekali terutama masalah seperti
pemberontakan yang terjadi di daerah-daerah. Selain itu, masalah korupsi yang
semakin meningkat dan kemunduran ekonomi sehingga menurunkan tingkat kepercayaan
dari masyarakat juga semakin memperkeruh keadaan. Berbagai masalah lainnya juga
menjadi alasan utama, seperti masalah Irian Barat, Pemilu bahkan juga skandal
korupsi di tubuh PNI sendiri juga menjadi alasan utama. NU, tidak puas terhadap
kinerja kabinet di segala lini, baik secara personel, di bidang ekonomi dan
keamanan yang didalamnya terdapat konflik antara NU dan PNI. Sehingga pada
puncaknya pada tanggal 20 Juli NU mengutus para menteri yang ada di dalam
kabinet untuk mengundurkan diri dan keluar dari Kabinet. Tindakan NU ini
kemudian diikuti oleh parta-partai lainnya. Keadaan lemahnya Kabinet Ali
Sastroamijoyo I ini kemudian mendorong Masyumi untuk menggulirkan mosi tidak
percaya pada bulan Desember mengenai ketidakpercayaan pada kebijakan Pemerintah.
Melihat keadaan kabinet yang tak kondusif ini, PKI kemudian meredam
kecaman-kecaman terhadap korupsi dan masalah ekonomi sebagai imbalan atas
perlindungan PNI. Ali Sastroamijoyo sendiri kemudian mengembalikan mandatnya
pada tanggal 18 Juni. Kemudian karena dukungan dari DPR tidak mencukupi, empat
hari kemudian Ali pun mengunfurkan diri dan Kabinet Ali Sastroamijoyo I ini
mengembalikan mandatnya pada tanggal 24 Juli 1955.
5.
KABINET BURHANUDDIN HARAHAP
(12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Kondisi
rakyat ketika pelaksanaan pemilu pertama kali di Indonesia
Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29
September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih
konstituante). Sekitar 39 juta rakyat berpartisipasi dalam pemilu ini. Pemilu
berlangsung sangat demokratisTerdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi
hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang
memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
6. KABINET
ALI SASTROAMIDJOJO II (20 Maret 1956 – 14 Maret 1957)
Analisis Gerakan Asaat
Analisis Gerakan Asaat
Untuk meningkatkan
pengusaha pribumi dilakukan melalui “Gerakan Asaat”. Gerakan Asaat memberikan
perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia asli dalam segala aktivitas
usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing, khususnya
Cina. Pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa akan memberikan lisensi khusus
pada pengusaha pribumi pada Oktober 1945.
Kebijakan tersebut
memunculkan reaksi negatif dari golongan pembenci kalangan Cina hingga
menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko dan harta benda milik
masyarakat Cina serta munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan pribumi.
Gerakan Assat yang
terjadi pada tahun 1956 merupakan suatu gerakan ekonomi bangsa Indonesia.
Persoalan yang dibahas dalam tulisan ini adalah tentang kekhawatiran masyarakat
Indonesia akan dominasi orang-orang Cina dalam perekonomian Indonesia.
Keadaan ini kemudian mengilhami para pengusaha Indonesia untuk mencari
jalan pemecahan bagi kesenjangan ekonomi yang ada, karena langkah-langkah yang
telah diambil oleh pemerintah belum mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan.
Untuk itu maka dibentuk suatu organisasi sebagai wadah perjuangannya atau
Badan Perjuangan KENSI yang kemudian terkenal sebagai Gerakaan Assaat,
yang diambil dari nama Mr. Assaat (Presiden RI pada masa RIS)
sebagai orang yang dinilai sangat bersimpati terhadap penderitaan
bangsanya. Sebenarnya yang dipersoalkan oleh gerakan ini tidak hanya
masalah ekonomi, tetapi juga tentang sikap hidup golongan Cina dalam
masyarakat Indonesia yang cenderung eksklusif dan tidak memiliki rasa
nasionalis Indonesia. Kesimpulannya adalah walaupun Gerakan Assaat menyebabkan
kekerasan terhadap golongan Cina, tetapi sebenarnya Gerakan Assaat
bukanlah Gerakan rasdiskriminasi sebagamana dituduhkan oleh golongan Cina, karena
sebenarnya yang dikehendaki oleh gerakan ini bukanlah kekerasan, tetapi
keseimbangan ekonomi dan rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi dari
golongan Cina terhadap bangsa Indonesia. Semua itu hanyalah merupakan
ungkapan emosional masyarakat pribumi terhadap suatu golongan yang selama
ini telah dinilai kurang mampu membaurkan diri dan mengancam eksistensinya,
khususnya dalam dunia ekonomi.
7.
KABINET DJUANDA ( 9 April
1957- 5 Juli 1959)
Hasil
atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Djuanda yaitu mengatur kembali
batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur
mengenai laut pedalaman dan laut teritorial. Melalui deklarasi ini menunjukkan
telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia dimana lautan dan daratan
merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.
Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang
bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam
masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk
menegakkan sistem demokrasi terpimpin.
Mengadakan
Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah.
Musyawarah ini membahas masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan
angkatan perang, dan pembagian wilayah RI
Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk
mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
Awal Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI), dan PERMESTA sebenarnya sudah muncul pada saat menjelang
pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 dan pada saat
bersamaan Divisi Banteng diciutkan sehingga menjadi kecil dan hanya menyisakan
satu brigade. Brigade ini pun akhirnya diperkecil lagi menjadi Resimen
Infanteri 4 TT I BB. Hal ini memunculkan perasaan kecewa dan terhina pada para
perwira dan prajurit Divisi IX Banteng yang telah berjuang mempertaruhkan jiwa
dan raganya bagi kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu juga, terjadi
ketidakpuasan dari beberapa daerah yang berada di wilayah Sumatra dan Sulawesi
terhadap alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Kondisi ini diperparah dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan masyarakat
yang sangat rendah.
Ketidakpuasan tersebut akhirnya memicu terbentuknya
dewan militer daerah yaitu Dewan Banteng yang berada di daerah Sumatera Barat
pada tanggal 20 Desember 1956. Dewan ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah
(mantan Panglima Divisi IX Banteng) bersama dengan ratusan perwira aktif dan
para pensiunan yang berasal dari Komando Divisi IX Banteng yang telah
dibubarkan tersebut. Letnan Kolonel Ahmad Husein yang saat itu menjabat sebagai
Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB diangkat menjadi ketua Dewan Banteng.
Kegiatan ini diketahui oleh KASAD dan karena Dewan Banteng ini bertendensi
politik, maka KASAD melarang perwira‑perwira AD untuk ikut dalam dewan
tersebut. Akibat larangan tersebut, Dewan Banteng justru memberikan tanggapan
dengan mengambil alih pemerintahan Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan
Muloharjo, dengan alasan Ruslan Muloharjo tidak mampu melaksanakan pembangunan
secara maksimal.
Selain Dewan Banteng yang bertempat di daerah Sumatra
Barat, di Medan terdapat juga Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Maludin
Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I, pada tanggal 22 Desember 1956. Dan
juga di Sumatra Selatan terbentuknya Dewan Garuda yang dipimpin oleh Letkol
Barlian.
Selain itu pemberontakan ini juga disebabkan karena
ada pengaruh dari PKI terhadap pemerintah pusat dan hal ini menimbulkan
terjadinya kekecewaan pada daerah tertentu. Keadaan tersebut diperparah dengan
pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berada di dalam
pemerintah pusat, tidak terkecuali Presiden Soekarno.
Selanjutnya, PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak
mengakui kabinet Djuanda. Dewan Perjuangan PRRI akhirnya membentuk Kabinet baru
yang disebut Kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet
PRRI). Pembentukan kabinet ini terjadi pada saat Presiden Soekarno sedang
melakukan kunjungan kenegaraan di Tokyo, Jepang. Pada tanggal 10 Februari 1958,
Dewan Perjuangan PRRI melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan berupa “Piagam
Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Soekarno
supaya “bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional, menghapus segala
akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu
dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan tersebut antara lain :
- Mendesak kabinet Djuanda supaya
mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
- Mendesak pejabat presiden, Mr.
Sartono untuk membentuk kabinet baru yang disebut Zaken Kabinet Nasional
yang bebas dari pengaruh PKI (komunis).
- Mendesak kabinet baru tersebut diberi
mandat sepenuhnya untuk bekerja hingga pemilihan umum yang akan datang.
- Mendesak Presiden Soekarno membatasi
kekuasaannya dan mematuhi konstitusi.
- Jika tuntutan tersebut di atas tidak
dipenuhi dalam waktu 5×24 jam maka Dewan Perjuangan akan mengambil kebijakan
sendiri.
Setelah tuntutannya di tolak, PRRI
membentuk sebuah Pemerintahan dengan anggota kabinetnya. Pada saat pembangunan
Pemerintahan tersebut di mulai, PRRI memperoleh dukungan dari PERMESTA dan
rakyat setempat.
Pada tanggal 2 Maret 1957, di Makasar yang
berada di wilayah timur Negara Indonesia terjadi sebuah acara proklamasi Piagam
Perjuangan Republik Indonesia (PERMESTA) yang diproklamasikan oleh Panglima TT
VII, Letkol Ventje Sumual. Pada hari berikutnya, PERMESTA mendukung kelompok
PRRI dan pada akhirnya kedua kelompok itu bersatu sehingga gerakan kedua
kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA. Tokoh-tokoh PERMESTA terdiri dari beberapa
pasukan militer yang diantaranya adalah Letnan Kolonel D.J Samba, Letnan
Kolonel Vantje Sumual, Letnan Kolonel saleh Lahade, Mayor Runturambi, dan Mayor
Gerungan.