Senin, 02 Oktober 2017 0 komentar

Kondisi Politik pada Masa Demokrasi Liberal

1.       KABINET NATSIR (6 September 1950 - 21 Maret 1951)
Kondisi sosial budaya pada masa Kabinet Natsir :
1.     Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS.
2.     Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Natsir yaitu berhasil melangsungkan perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
3.     Yang menjadi beban pemerintah semasa Kabinet Natsir adalah perjuangan Irian Barat ke tangan Indonesia. Belanda rupa-rupanya tidak bermaksud untuk mengembalikan wilayah ini kepada Indonesia. Perundingan antara Indonesia dengan Belanda dimulai pada tanggal 4 Desember 1950, tetapi menemui jalan buntu. Baik Indonesia ataupun Belanda tidak beranjak dari pendirian masing-masing. Hal ini menimbulkan mosi tidak percaya dari parlemen terhadap kabinet.
Krisis menjadi lebih mendalam dengan adanya mosi Hadikusumo (PNI)  menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah No. 39 th 1950 tentang pemilihan anggota perwakilan daerah. Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

2.       KABINET SUKIMAN (26 April 1951 – 23 Februari 1952)
Dampak positif dan negatif dalam mengadakan MSA (Mutual Security Act) :
1.     Amerika Serikat akan memberikan bantuan keamanan (perlengkapan senjata) kepada Indonesia.
2.     Munculnya pernyataan PNI agar kabinet mengembalikan mandatnya kepada presiden yang akhirnya menyebabkan Sukiman meyerahkan mandatnya pada 23 Februari 1952.
3.     Munculnya mosi dari Sunario (PNI) yang menganggap Ahmad Soebardjo melanggar politik luar negeri bebas aktif. Akhirnya Ahmad Soebardjo pun mengundurkan diri selaku Menteri Luar Negeri Indonesia pada saat itu.

3.       KABINET WILOPO (30 Maret 1952 – 2 Juni 1953)
Peristiwa Tanjung Morawa
Peristiwa ini terjadi pada 16 Maret 1953 di Desa Perdamaian, Tanjung Morawa, Sumatera Timur (sekarang Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara). Peristiwa ini turut menyeret jatuhya Kabinet Perdana Menteri (PM) Wilopo di era demokrasi liberal.
Yang diperebutkan adalah lahan seluas 255 ribu hektare lahan perkebunan kelapa sawit, teh, dan tembakau yang jadi konsesi milik sebuah perusahaan Belanda, Deli Planters Vereeniging (DPV) sebelum Perang Dunia II. Tanah itu diambil dan digarap rakyat pribumi dan keturunan Tionghoa setempat saat Jepang masuk ke Indonesia.
Tapi tanah itu kembali dipermasalahkan usai Indonesia diharuskan mengembalikan tanah itu, sebagai imbas kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB). Kesepakatan itu membuat Indonesia mendapat pengakuan kemerdekaan, tapi salah satu syaratnya mengembalikan lahan itu kepada para investor asing.
Pemerintah Kabinet Wilopo, diwakili Menteri Dalam Negeri Mohamad Roem, memerintahkan Gubernur Sumatera Timur, A. Hakim, untuk melakukan pengosongan lahan.Sedianya para petani dan keturunan Tionghoa setempat bersedia untuk meninggalkan lahan. Akan tetapi, para provokator Barisan Tani Indonesia (BTI–Organisasi Massa Tani dari PKI) melayangkan hasutan, sehingga para buruh tani itu urung menuruti imbauan pemerintah.
Pada 16 Maret 1953, eksekusi pengosongan paksa pun dilakukan dengan beberapa unit traktor serta perlindungan dari Brigade Mobil (Brimob) polisi. Para buruh tani melakukan perlawanan hingga terjadi bentrok. Dalam insiden itulah timbul tragedi penembakan yang memakan 21 korban, di mana enam di antaranya tewas.
Singkat kata, insiden itu dijadikan bahan bakar oleh sejumlah kubu antikabinet, termasuk Sidik Kertapati, tokoh Sarekat Tani Indonesia (SAKTI), melancarkan mosi tidak percaya pada pemerintahan PM Wilopo. Peristiwa Tanjung Morawa ini akhirnya memaksa PM Wilopo mengembalikan mandat kabinetnya kepada Presiden Soekarno, pada 2 Juni 1953.

4.       KABINET ALI SASTROAMIDJOJO I (30 Juli 1953 – 24 Juli 1955)
       Alasan terdapat koalisi PNI dan NU serta oposisi Masyumi

Pada masa itu, banyak sekali terutama masalah seperti pemberontakan yang terjadi di daerah-daerah. Selain itu, masalah korupsi yang semakin meningkat dan kemunduran ekonomi sehingga menurunkan tingkat kepercayaan dari masyarakat juga semakin memperkeruh keadaan. Berbagai masalah lainnya juga menjadi alasan utama, seperti masalah Irian Barat, Pemilu bahkan juga skandal korupsi di tubuh PNI sendiri juga menjadi alasan utama. NU, tidak puas terhadap kinerja kabinet di segala lini, baik secara personel, di bidang ekonomi dan keamanan yang didalamnya terdapat konflik antara NU dan PNI. Sehingga pada puncaknya pada tanggal 20 Juli NU mengutus para menteri yang ada di dalam kabinet untuk mengundurkan diri dan keluar dari Kabinet. Tindakan NU ini kemudian diikuti oleh parta-partai lainnya. Keadaan lemahnya Kabinet Ali Sastroamijoyo I ini kemudian mendorong Masyumi untuk menggulirkan mosi tidak percaya pada bulan Desember mengenai ketidakpercayaan pada kebijakan Pemerintah. Melihat keadaan kabinet yang tak kondusif ini, PKI kemudian meredam kecaman-kecaman terhadap korupsi dan masalah ekonomi sebagai imbalan atas perlindungan PNI. Ali Sastroamijoyo sendiri kemudian mengembalikan mandatnya pada tanggal 18 Juni. Kemudian karena dukungan dari DPR tidak mencukupi, empat hari kemudian Ali pun mengunfurkan diri dan Kabinet Ali Sastroamijoyo I ini mengembalikan mandatnya pada tanggal 24 Juli 1955.

5.       KABINET BURHANUDDIN HARAHAP (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
   Kondisi rakyat ketika pelaksanaan pemilu pertama kali di Indonesia
Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante). Sekitar 39 juta rakyat berpartisipasi dalam pemilu ini. Pemilu berlangsung sangat demokratisTerdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.


6.       KABINET ALI SASTROAMIDJOJO II (20 Maret 1956 – 14 Maret 1957)
Analisis Gerakan Asaat
Untuk meningkatkan pengusaha pribumi dilakukan melalui “Gerakan Asaat”. Gerakan Asaat memberikan perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia asli dalam segala aktivitas usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing, khususnya Cina. Pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa akan memberikan lisensi khusus pada pengusaha pribumi pada Oktober 1945.
Kebijakan tersebut memunculkan reaksi negatif dari golongan pembenci kalangan Cina hingga menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko dan harta benda milik masyarakat Cina serta munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan pribumi.
Gerakan Assat yang terjadi pada tahun 1956 merupakan suatu gerakan ekonomi bangsa Indonesia. Persoalan yang dibahas dalam tulisan ini adalah tentang kekhawatiran masyarakat Indonesia akan dominasi orang-orang Cina dalam perekonomian Indonesia. Keadaan ini kemudian mengilhami para pengusaha Indonesia untuk mencari jalan pemecahan bagi kesenjangan ekonomi yang ada, karena langkah-langkah yang telah diambil oleh pemerintah belum mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu maka dibentuk suatu organisasi sebagai wadah perjuangannya atau Badan Perjuangan KENSI yang kemudian terkenal sebagai Gerakaan Assaat, yang diambil dari nama Mr. Assaat (Presiden RI pada masa RIS) sebagai orang yang dinilai sangat bersimpati terhadap penderitaan bangsanya. Sebenarnya yang dipersoalkan oleh gerakan ini tidak hanya masalah ekonomi, tetapi juga tentang sikap hidup golongan Cina dalam masyarakat Indonesia yang cenderung eksklusif dan tidak memiliki rasa nasionalis Indonesia. Kesimpulannya adalah walaupun Gerakan Assaat menyebabkan kekerasan terhadap golongan Cina, tetapi sebenarnya Gerakan Assaat bukanlah Gerakan rasdiskriminasi sebagamana dituduhkan oleh golongan Cina, karena sebenarnya yang dikehendaki oleh gerakan ini bukanlah kekerasan, tetapi keseimbangan ekonomi dan rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi dari golongan Cina terhadap bangsa Indonesia. Semua itu hanyalah merupakan ungkapan emosional masyarakat pribumi terhadap suatu golongan yang selama ini telah dinilai kurang mampu membaurkan diri dan mengancam eksistensinya, khususnya dalam dunia ekonomi.

7.       KABINET DJUANDA ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Djuanda yaitu mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial. Melalui deklarasi ini menunjukkan telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia dimana lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.
Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi terpimpin.
Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI
Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
Awal Pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan PERMESTA sebenarnya sudah muncul pada saat menjelang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 dan pada saat bersamaan Divisi Banteng diciutkan sehingga menjadi kecil dan hanya menyisakan satu brigade. Brigade ini pun akhirnya diperkecil lagi menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB. Hal ini memunculkan perasaan kecewa dan terhina pada para perwira dan prajurit Divisi IX Banteng yang telah berjuang mempertaruhkan jiwa dan raganya bagi kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu juga, terjadi ketidakpuasan dari beberapa daerah yang berada di wilayah Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan masyarakat yang sangat rendah. 
Ketidakpuasan tersebut akhirnya memicu terbentuknya dewan militer daerah yaitu Dewan Banteng yang berada di daerah Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956. Dewan ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng) bersama dengan ratusan perwira aktif dan para pensiunan yang berasal dari Komando Divisi IX Banteng yang telah dibubarkan tersebut. Letnan Kolonel Ahmad Husein yang saat itu menjabat sebagai Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB diangkat menjadi ketua Dewan Banteng. Kegiatan ini diketahui oleh KASAD dan karena Dewan Banteng ini bertendensi politik, maka KASAD melarang perwira‑perwira AD untuk ikut dalam dewan tersebut. Akibat larangan tersebut, Dewan Banteng justru memberikan tanggapan dengan mengambil alih pemerintahan Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Muloharjo, dengan alasan Ruslan Muloharjo tidak mampu melaksanakan pembangunan secara maksimal.
Selain Dewan Banteng yang bertempat di daerah Sumatra Barat, di Medan terdapat juga Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon, Panglima Tentara dan Teritorium I, pada tanggal 22 Desember 1956. Dan juga di Sumatra Selatan terbentuknya Dewan Garuda yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
Selain itu pemberontakan ini juga disebabkan karena ada pengaruh dari PKI terhadap pemerintah pusat dan hal ini menimbulkan terjadinya kekecewaan pada daerah tertentu. Keadaan tersebut diperparah dengan pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berada di dalam pemerintah pusat, tidak terkecuali Presiden Soekarno.
Selanjutnya, PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda. Dewan Perjuangan PRRI akhirnya membentuk Kabinet baru yang disebut Kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini terjadi pada saat Presiden Soekarno sedang melakukan kunjungan kenegaraan di Tokyo, Jepang. Pada tanggal 10 Februari 1958, Dewan Perjuangan PRRI melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan berupa “Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Soekarno supaya “bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional, menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan tersebut antara lain :
  1. Mendesak kabinet Djuanda supaya mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
  2. Mendesak pejabat presiden, Mr. Sartono untuk membentuk kabinet baru yang disebut Zaken Kabinet Nasional yang bebas dari pengaruh PKI (komunis).
  3. Mendesak kabinet baru tersebut diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja hingga pemilihan umum yang akan datang.
  4. Mendesak Presiden Soekarno membatasi kekuasaannya dan mematuhi konstitusi.
  5. Jika tuntutan tersebut di atas tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam maka Dewan Perjuangan akan mengambil kebijakan sendiri.
Setelah tuntutannya di tolak, PRRI membentuk sebuah Pemerintahan dengan anggota kabinetnya. Pada saat pembangunan Pemerintahan tersebut di mulai, PRRI memperoleh dukungan dari PERMESTA dan rakyat setempat.
Pada tanggal 2 Maret 1957, di Makasar yang berada di wilayah timur Negara Indonesia terjadi sebuah acara proklamasi Piagam Perjuangan Republik Indonesia (PERMESTA) yang diproklamasikan oleh Panglima TT VII, Letkol Ventje Sumual. Pada hari berikutnya, PERMESTA mendukung kelompok PRRI dan pada akhirnya kedua kelompok itu bersatu sehingga gerakan kedua kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA. Tokoh-tokoh PERMESTA terdiri dari beberapa pasukan militer yang diantaranya adalah Letnan Kolonel D.J Samba, Letnan Kolonel Vantje Sumual, Letnan Kolonel saleh Lahade, Mayor Runturambi, dan Mayor Gerungan.


 
;